Sabtu, 05 Oktober 2013

TRADISI TRADISI YANG ADA DI MADURA


TRADISI TRADISI YANG ADA DI MADURA
1. Kebudayaan Macopat (Mamaca)
Macopat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan kebudayaan madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang yang ditulis dengan bahasa jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikenal dengan istilah tembeng.
Biasanya dalam pembacaan macopat ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling.
2. Ritual Ojung
Pelaksanaan ritual Ojung dalam bentuknya sejenis permainan yang melibatkan dua orang untuk beradu fisik dengan dilengkapi media rotan berukuran besar sepanjang 1 meter sebagai alat memukul.ritual ini biasanya diselenggarakan agar segera turun hujan dan terhindar dari malapetaka akibat kekeringan musim kemarau.Dan biasanya diiringi dengan musik yang jarang dijumpai di daerah lain yang terdiri dari 3 buah dung-dung (akar pohon siwalan) yang dilubangi di tengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik kleningan sebagai pengatur lagu.
3. Kebudayaan Rokat Tase’ (Petik Laut)
Tradisi ” Rokat Tase’ ” dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja.Ritual atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut ” Rokat Tase’ ” oleh penduduk setempat.
4. Kebudayaan Okol
Okol, istilah warga Madura untuk menyebutkan olahraga gulat tradisional.Tradisi okol biasa dilakukan pada saat musim kemarau berkepanjangan melanda. Namun apabila kita lihat baik dari tujuan maupun pelaksanaannya okol hampir sama dengan kebudayaan ojung
5. Kebudayaan Rokat
            Kebudayaan Rokat yang ada di Madura dilakukan dengan maksud jika dalam suatu keluarga hanya ada satu  orang laki-laki dari lima bersaudara (pandapa lema’), maka harus diadakan acara Rokat. Acara Rokat ini biasanya dilaksanakan dengan mengundang topeng (nangge’ topeng) yang diiringi dengan alunan musik gamelan Madura dan sembari dibacakan macopat (mamaca).

6. Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa & Madura

           Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.
           Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
           Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta Berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
           Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
           Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
          Di Madura acara ini dikatakan “MULUDHEN”. Yang mana dalam acara itu biasanya diisi dengan pembacaan barzanji dan sedikit selingan ceramah keagamaan yang menceritakan tentang akhlaq Sang Nabi pada masanya untuk dijadikan sebagai suri tauladan demi kehidupan saat ini.
Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.

7. Kerapan Sapi
Karapan sapi merupakan acara yang prestisius bagi masyarakat Madura, pemilik sapi karapan akan merasa status sosialnya terangkat apabila sapinya bisa menjadi juara. Hewan memamah biak ini juga dijadikan alat investasi selain emas dan uang. Tak mengherankan, bila para pemilik sapi karapan akan mengerahkan segala daya upayanya untuk membuat sapi-sapinya menjadi pemenang dalam setiap musim karapan. Sekadar diketahui, sapi karapan umumnya dari Pulau Sapudi [baca: Atlet Sapi di Pesta Karapan]. Sejak dulu, pulau kecil yang terletak di ujung Timur Pulau Madura itu memang gudangnya sapi bibit unggul.
Kejuaraan dimulai dari tingkat Kecamatan dilanjutkan ke tingkat Kabupaten dan diteruskan sampai ketingkat Karisidenan. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Benar-benar meriah, apalagi alunan musik seronen menonjolkan perpaduan bunyi gendang, terompet, dan gong yang disertai tarian para pemainnya. Para pemusik seronen ini memang sengaja disewa oleh para pemilik sapi. Terutama untuk menyemangati anggota kontingen beserta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai.
8. Upacara nadar
Unsur-Unsur Upacara Nadar dan Pemaknaannya
Upacara nadar dilaksanakan sebagai ungkapan terima kasih kepada Tu- han yang telah memberikan rezeki, yaitu panen garam. Pelaksanaan upacara tidak   terlepas  dari   tempat  upacara saat  upacara  benda-benda  dan  alat upacara, serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Sejum- lah instrumen ritual disajikan secara khusus sehubungan dengan upacara itu. Instrumen  yang  digunakan  dalam  upacara  pertama  dan  kedua  sama,  yaitu bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Bunga dan bedak digunakan untuk tabur bunga di makam leluhur. Hal ini sebagai simbol rasa terima kasih kepada leluhur, sedangkan kemen- yan  merupakan  parfum  atau  wewangian  bagi  arwah  leluhur.  Nasi  sebagai simbol rezeki yang dihasilkan para petani garam. Ayam merupakan binatang yang  bertelur  sehingga  masyarakat  menganggap  bahwa  ayam  merupakan simbol harapan supaya rezeki yang dihasilkan terus melimpah. Karena ayam yang disajikan utuh (pitik ndhekem) maka disebut ayam ungkul. Pemaknaan ini disesuaikan  dengan  kemiripan  bunyi  fonetisnya  dengan  tumungkul  (ter- capai  kehendak).  Telur  merupakan  perwujudan  rezeki  yang  dihasilkan  dan bandeng  merupakan  binatang  yang  hidup  di  tambak  begitu  pula  garam se- hingga hal ini sebagai simbol hasil panen.
Instrumen  pada  upacara  nadar  ketiga,  yaitu  nasi,  telur,  dan  bandeng. Semua  itu  diletakkan  di  atas  panjang  (piring  keramik  asing).  Simbol  dari nasi, telur, dan bandeng sama dengan upacara nadar pertama dan kedua. Pir- ing  keramik  ini  sebagai  simbol  tempat  menyimpan  rezeki.  Piring  keramik (panjang)  dikeluarkan  pada upacara ketiga karena sebagai simbol  menyim- pan  rezeki  dan  diharapkan  hasil  panen  terakhir  bisa  ditabung,  sedangkan pada panen pertama dan kedua hasilnya digunakan untuk makan dan kebu- tuhan sehari-hari. Naskah-naskah kuno yang dibacakan adalah naskah Sam- purna Sembah dan Jatiswara dan hanya bagian-bagian tertentu saja yang di- bacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga dapat dijadi- kan  panutan  dalam  hidup  sehari-hari.  Tombak  dan  keris,  benda-benda  ini, mempunyai kekuatan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhurnya. Keris dan tombak sebagai simbol kekuatan supaya terhindar dari gangguan para lelem- but.
Upacara dilakukan pada hari Jumat yang dimulai pada sore hari sekitar pukul  16.00  WIB  karena  masyarakat  Sumenep  mayoritas  beragama  Islam.
Sebelu upacar merek melaksanakan   Shala Juma terlebi dahulu. Dipilihnya hari Jumat karena hari tersebut dianggap hari baik dan suci.














9. Tari Topeng gethak

Tari Tradisional Asal Pamekasan

Dua Jenis Tari Tradisional Asal Pamekasan

Tari topeng gethak dan tari rondhing yang merupakan dua jenis tari tradisional asal Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini mulai diajarkan kepada para pelajar di wilayah setempat.

           “Selain itu, kedua jenis tari ini sudah mendapatkan hak paten dari Menteri Hukum dan HAM sebagai tari hasil kreasi warga Pamekasan,” katanya.
Ia mengatakan di Pamekasan sendiri sebenarnya banyak jenis kesenian tradisional yang mulai berkembang, seperti tari pecot, tari samper nyecceng, dan tari dhanggak.
           “Tari pecot itu jenis tari yang biasa ditampilkan pada acara pembukaan karapan sapi dan tari samper nyecceng merupakan tari khas Madura yang biasanya ditampilkan pada acara karnaval, sedang tari dhanggak merupakan tari-tarian yang berkembang di kalangan masyarakat pesisir,” katanya.
           Namun, katanya, dari berbagai jenis tari tersebut yang banyak diminati dan secara sosial budaya dinilai cocok dengan kondisi kabupaten adalah tari topeng gethak dan tari rondhing.
           Tari topeng gethak merupakan jenis seni tari yang diminati raja-raja Pamekasan di zaman dulu dan diciptakan oleh warga Kecamatan Proppo yang merupakan tempat kerajaan Pamekasan berdiri untuk pertama kalinya.
Sementara tari rondhing menggambarkan semangat perjuangan warga Pamekasan, karena itu tari rondhing ini sering juga disebut dengan tari baris, sebab tari ini dulunya merupakan refleksi dari perjuangan warga Pamekasan dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

10. Tari Roding

Tari ’rondhing’ dan tari topeng ’gethak’ dua jenis tari tradisional peninggalan budaya leluhur warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini masih lestari, bahkan jenis kesenian ini mulai diajarkan kepada para pelajar di wilayah tersebut.
Di samping itu, kedua jenis tari ini juga sudah mendapatkan hak paten dari Menteri Hukum dan HAM sebagai jenis tari tradisional yang merupakan hasil kreasi warga Pamekasan.
" Di Pamekasan sendiri banyak jenis kesenian tradisional yang mulai berkembang. Seperti tari ’pecot, tari ’samper nyecceng’ dan tari ’dhanggak’.
Tari ’pecot’ merupakan salah satu jenis tari yang biasa ditampilkan pada acara pembukaan karapan sapi dan tari ’samper nyecceng’ merupakan tari khas Madura yang biasanya ditampilkan pada acara karnaval, sedang tari ’dhanggak’ merupakan tari-tarian yang berkembang di kalangan masyarat pesisir.
Namun, dari berbagai jenis tari tersebut yang banyak diminati dan secara sosial budaya dinilai cocok dengan kondisi kabupaten Pamekasan ialah tari ’rondhing’ dan tari topeng ’geth


5 komentar:

  1. klo tradisi karapan sapi emg udh menjadi identitas sebagai budaya asli dari madura

    http://www.marketingkita.com/2017/08/principal-menurut-ilmu-marketing.html

    BalasHapus